DIMENSI KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN
DIMENSI KEMUKJIZATAN AL-QUR’AN
Oleh: Nurhidayati dan Imatus Sa’adah
Makna “Mukjizat Al-Qur’an”
Dalam
kamus bahasa Indonesia, kata mukjizat berarti suatu kejadian yang ajaib yang
sukar dijangkau oleh kemampuan nalar manusia. Definisi ini berbeda dengan makna
mukjizat dalam prespektif islam. Para ulama Islam berbeda pendapat dalam
mendefinisikan kata mukjizat. Imam As-suyuthi mendefinisikan mukjizat sebagai,
”Suatu peristiwa luar biasa yang bersamaan dengan tantangan untuk mendatangkan
peristiwa serupa dan tidak ada yang mampu menandinginya”.
Definisi
mukjizat yang lain adalah definisi yang disebutkan oleh Az-Zarqani, mukjizat adalah suatu peristiwa yang luar biasa
yang diberikan oleh Allah kepada seorang nabi sebagai bukti kebenarannya.
Definisi ini jelas lebih umum dan mencakup mukjizat yang dimaksudkan sebagai
tantangan seperti mukjizat Al-Qur’an dan mukjizat-mukjizat yang terjadi tidak
bersama-sama tantangan seperti mukjizat 12 mata air yang keluar dari batu
karena pukulan tongkat nabi Musa as.
Kita akan membahas Al-Qur’an dalam konteks
kemukjizatan.
Para
ulama menegaskan bahwa Al-Qur’an dapat dipahami sebagai nama keseluruhan firman
Allah, tetapi juga dapat bermakna “sepenggal dari ayat-ayat-Nya”. Karena itu, mereka
berkata, “Jika Anda berkata, ’Saya hafal Al-Qur’an’ padahal yang Anda hafal
hanya satu ayat, ucapan Anda itu tidak salah, kecuali jika Anda berkata, ’ Saya
hafal seluruh Al-Qur’an”.
Pertama
kali, Allah menantang untuk
membuat semacam “keseluruhan Al-Qur’an”, sebagaimana dalam
Al-Qur’an:
“Ataukah
meraka menyatakan bahwa dia (Muhammad) membuat-buatnya. Sebenarnya mereka tidak
beriman, maka hendaklah mereka mendatangkan ucapan semisal Al-Qur’an jika
mereka orang-orang yang benar
(dalam tuduhan mereka)” (Q.S At-Thur: 33-34)
Namun
tantangan tersebut tidak mereka layani dengan dalih, ”Kami tidak mengetahui
sejarah umat terdahulu”
(yang merupakan sebagian kandungan Al-Qur’an), untuk
tahap kedua Allah memberikan keringanan dengan firmannya:
“Bahkan
mereka mengatakan,
’Dia (Muhammad) telah
membuat-buat Al-Qur’an
(lalu dikatakannya bahwa itu dari
Tuhan)’. Katakanlah, ‘(kalau demikian) maka datangkanlah sepuluh surah saja
yang dibuat-buat yang menyamainya dan panggilah orang-orang yang kamu sanggup
memanggilnya selain Allah jika kamu memang benar’ (dalam tuduhan kamu)” (Q.S Hud: 13)
Hasilnya
tetap sama. Mereka tidak mampu,
namun mereka tetap bersikeras untuk tidak mengakui kebenaran Al-Qur’an. Maka
Allah memberikan keringanan lagi untuk ketiga kalinya. Kali ini firman Allah:
“Atau
patutkah mereka berkata,’Dia (Muhammad) membuat-buatnya?’, ‘Katakanlah (kalau
benar tuduhan kamu itu), maka buatlah satu surah semacamnya dan panggilah siapa
pun yang dapat kamu panggil selain Allah, jika kamu benar (dalam tuduhanmu)”
(Q.S. Yunus:38)
Tiga
tahapan tantangan tersebut, yang keseluruhannya disampaikan ketika Nabi
Muhammad masih berada di kota Mekah, masih ditambah lagi tantangan tahap
keempat yang dikemukakan oleh nabi setelah nabi saw hijrah ke Madinah, yaitu:
“Dan
jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang kami turunkan kepada
hamba kami (Muhammad), buatlah walau satu surah
yang lebih kurang semisal Al-Qur’an. Ajaklah penolong-penolongmu selain
Allah jika kamu memang orang-orang yang benar (dalam keraguan kamu)”
(Q.S. Al-Baqarah: 23)
Dan
tantangan tahap terakhir ini ditutup dengan pernyataan yang sangat jelas dan
tegas dan yang tidak hanya diturunkan kepada mereka yang hidup pada masa
Al-Qur’an diturunkan tetapi juga bagi mereka yang masih ragu, dimana pun dan
kapan pun.
“Maka
jika kamu tidak dapat membuat (semacam Al-Qur’an) dan pasti kamu tidak akan
mampu, peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu yang disediakan bagi orang-orang kafir”
(Q.S. Al-Baqarah: 24)
Tidak
dapat disangkal oleh siapa pun bahwa kitab suci Al-Qur’an merupakan suatu hal
yang istimewa. Hal ini diakui dari zaman nabi dahulu dan hingga sekarang.
Termasuk bagi orang yang belum mempercayai ini adalah firman Allah, mereka
megakui keistimewaan Al-Qur’an tetapi mereka enggan mengakuinya sebagai firman
Allah. Sihir? Syair? Perdukunan? Bermacam-macam pendapat tentang semuanya
walaupun mereka mengingkarinya, mereka
menyadari keistimewaan Al-Qur’an.
Tiada
satu bacaan pun yang dibaca berulang kali, baik mereka yang mengerti maknanya
atau tidak seperti halnya Al-Qur’an.
Tiada
satu bacaan pun seperti halnya Al-Qur’an
yang mendapat perhatian serius untuk memahaminya, yang perhatiannya
tidak secara umum saja tetapi sampai secara mendalam seperti mamahami sejarah
ayat demi ayatnya.
Tiada
satu bacaan pun seperti halnya Al-Qur’an
yang diatur tata cara membacanya, mana yang harus dipanjangkan,
dipendekkan, dipertebal, atau diperhalus bacaannya. Dimana tempat yang
terlarang,
boleh, harus bermula, dan harus berhenti. Bahkan diatur
lagu dan irama yang diperkenankan atau tidak, sampai etika membacanya pun semua
memiliki aturan.
Tiada
satu bacaan pun yang dihitung jumlahnya, bukan hanya bagian terbesar (surah-surahnya),
melainkan sampai kepada ayat, kalimat, kata, dan hurufnya sekalipun dan
kemudian ditemukan rahasia-rahasia yang
sangat mengagumkan dari perimbangan jumlah bilangan kata-katanya.
Setelah
mambaca pernyataan diatas, masih perlukah dibuktikan?
Keistimewaan Al-Qur’an
·
Jika
kita mendengar ayat-ayat Al-Qur’an, hal yang pertama terasa ditelinga adalah
nada dan langgamnya walaupun sebagaiman telah ditegaskannya bukan merupakan
syair atau puisi, terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan
ritmenya.
Cendekiawan
Inggris, Maramaduke Pickthall dalam The
Meaning of Glorious Qur’an, menulis:
“Al-Qur’an
mempunyai simfoni yang tidak ada taranya di mana setiap nada-nadanya bisa
menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka cita.”
·
Keindahan
dan ketepatan maknanya. Memang tidak mudah
menjelaskan bahasa yang Al-Qur’an bagi yang tidak memiliki bahasa Arab
atau paling tidak pengetahuan tentang tata bahasanya. Namun cobalah untuk
mempelajarinya, kita pasti akan dapat merasakan betapa indahnya dan ketepatan
makna yang dimilikinya.
·
Al-Qur’an
memberikan kabar berita yang belum bahkan yang sudah terjadi. Misalnya tentang
pemberitaan Al-Qur’an tentang akan tentang terjadinya kemenangan bangsa Romawi
atas Persia pada masa sekitar sembilan tahun sebelum kejadian tersebut.
·
Ayat-ayat
Al-Qur’an juga bisa memepengaruhi psikologis seseorang. Seperti Umar bin
Khattab yang masuk Islam
setelah membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang sedang dibaca oleh adiknya, Fathimah.
Dan
mungkin masih banyak lagi keistimewaan Al-Qur’an yang sama-sama telah kita
ketahui.
Benarkah tidak ada yang berhasil menantang
Al-Qur’an?
Sejarah
telah membuktikan tentang adanya orang-orang yang berusaha untuk menandingi
Al-Qur’an. Sejarah
juga meriwayatkan
ucapan-ucapan mereka, tetapi akhirnya usaha mereka berakhir dengan kegagalan. Bahkan, sekian banyak
di antara
mereka yang menyadari sendiri kegagalan mereka.
Konon
Musailamah Al-Kadzdzab, seorang Arab dari Yaman, mengaku mendapat wahyu. Dia menyampaikan
wahyu-wahyu itu, antara lain:
“ Al-fil malfil, wa ma
adraka malfil, lahu khurthumun thawil, wa dzanabun atsil, wa ma dzaka min
khalqi rabbina biqalil”
(Gajah,
apakah gajah, tahukah engkau apa gajah? Dia mempunya belalai yang panjang, dan
ekor yang mantap. Itu bukanlah bagian dari ciptaan Tuhan kita yang kecil.)
Kita
lihat sendiri, bukan hanya makna dan pesan yang dikandung kalimat tersebut
sangat sederhana, tetapi juga kata-kata yang digunakan bukan pada tempatnya.
Misalnya dalam penggunaan kata wa ma
adraka, bahasa arab tidak menggunakan kata-kata itu kecuali dalam hal-hal
yang agung lagi sulit dijangkau hakikatnya. Karena itu Al-Qur’an tidak menggunakan
kalimat itu kecuali untuk hari kiamat, surga, neraka, bintang tertentu yang
gemerlapnya menembus cakrawala, dan perjuangan mendaki menuju hadirat Ilahi.
Bukan semacam yang diungkapkan diatas, tentang gajah, belalai, dan ekornya.
Dengan
demikian terlihat bahwa berita tentang adanya yang berupaya menantang Al-Qur’an
cukup tersebar, hanya saja tidak dihiraukan karena mutunya yang rendah.
Dari
sinilah kita harus mengakui kemukjizatan dan keistimewaan Al-Qur’an yang
dipaparkan oleh siapa pun dan kapan pun belum mencerminkan keseluruhan mukjizat
dan keistimewaannya. Bahkan, tidak mungkin mencakup seluruh keistimewaan kitab
suci ini, dan karena itu, ”Keajaibannya
tidak akan berakhir dan tidak pernah pula ia akan usang, sebanyak apa pun
uraian dan diskusi yang dilakukan terhadapnya”, sebagaimana sabda Nabi Saw.:
“Bacalah
Al-Qur’an, seakan-akan ia turun kepadamu”
Wallahu
a’lam
Komentar
Posting Komentar